Lawelle dalam sejarah bugis

Dikisahkan konon kabarnya, di sebuah desa bernama Wajo-wajo hiduplah seorang anak yatim yang masih kecil. Anak itu bernama Lawelle. Ayahnya meninggal karena dibunuh oleh Lamannuke. Sejak saat itu, Lawelle tinggal berdua dengan ibunya. Warga sekitar pun sangat sayang pada Lawelle karena dia termasuk anak yang rajin dan tidak nakal.Suatu ketika, Lawelle sedang bermain-
main dan tiba-tiba menyaksikan sepasang burung memberi makan pada anak-anaknya.
Lawelle pun takjub menyaksikan peristiwa yang menurut dia masih asing karena belum pernah
dilihat sebelumnya. Hal inilah yang kemudian membuatnya bertanya pada ibunya tentang
upaya kedua ekor burung yang memberi makan pada burung-burung yang lain. <p> </p> Ibunya
menjelaskan bahwa kedua burung itu tidak lain ayah dan ibu burung-burung yang lain. Lawelle
merasa heran karena selama ini dia tidak pernah merasa mempunyai ayah. Dia pun menanyakan tentang ayahnya. Ibu nyamenceritakan peristiwa yang dialami oleh ayahnya sehingga akhirnya dibunuh oleh Lamannuke.

Dalam rasa penasaran itulah, Lawelle menanyakan peninggalan
ayahnya. Ibunya memberitahukan bahwa ayah
Lawelle meninggalkan sebuah benda pusaka
yang rencananya akan dibuat menjadi badik
namun belum selesai. Benda itu disimpannya
baik-baik. Lawelle pun mengambil benda
tersebut yang sudah menyerupai sebuah badik
namun belum tajam karena belum selesai betul
dibuat oleh mendiang ayahnya. <p> </p> Agar
badiknya itu betul-betul jadi, Lawelle
menanam jeruk pada lahan perkebunan yang
sangat luas. Jeruk itu akan dijadikan sebagai
bahan untuk mempertajam badiknya. Alhasil,
jeruk itu tumbuh besar dan berbuah banyak.
Lawelle menghabiskan semua hasil panen jeruk
itu hanya untuk mempertajam badiknya hingga
badik itu terlalu tipis seperti daun padi
sehingga orang bugis menamakannya tappi
maddaung ase, artinya badik yang tipis seperti
daun padi. Berita tentang adanya tappi
maddaung ase yang dimiliki Lawelle tersebar
ke seluruh pelosok Wajo hingga tidak ada
orang yang berani melawannya karena bekas
luka yang ditorehkan akibat sayatan badik
Lawelle tidak dapat diobati dengan penawar
luka apapun sehingga orang bugis
menamakannya tennarapi pattawe. <p> </p>
Pada suatu hari, Lawelle yang sudah beranjak
remaja memohon izin kepada ibunya untuk
pergi mencari Lamannuke hendak membalas
dendam atas kematian ayahnya. Ibunya pun
mengizinkan karena sudah mengandalkan
keberanian anaknya. Setiap perkampungan
yang dilaluinya, Lawelle selalu bertanya
tentang keberadaan Lamannuke. Semua orang
yang ditanya pun terkejut melihat seorang
remaja yang mencari Lamannuke hendak
mengajaknya bertarung, sementara Lamannuke
sangat terkenal kehebatannya karena dia
memiliki ilmu pattawe (penawar luka). Namun,
setelah tahu bahwa remaja yang mencari
Lamannuke itu tak lain Lawelle yang memiliki
tappi maddaung ase tennarapi pattawe, mereka
pun maklum atas keberanian anak itu. <p> </
p> Setelah bertanya dan terus bertanya,
akhirnya Lawelle berhasil bertemu dengan
Lamannuke. Lawelle menantang Lamannuke
berkelahi karena hendak membalas dendam
atas kematian ayahnya. Celakanya, Lamannuke
terlalu licik. Dia mencari akal agar tidak jadi
bertarung dengan Lawelle. Rupanya Lamannuke
pun telah mendengar tentang kehebatan
Lawelle yang memiliki tappi maddaung ase
tennarapi pattawe. Lamannuke memang punya
ilmu penawar luka, tapi apalah artinya jika
berhadapan dengan Lamannuke yang memiliki
badik yang bekas sayatannya tak dapat
disembuhkan dengan penawar apapun. <p> </
p> Alhasil, Lamannuke menemukan cara agar
dapat menyingkirkan Lawelle. Dia menyangkal
kalau dirinya yang telah membunuh ayah
Lawelle. Lamannuke justru memfitnah Wa
Becce yang dikenal dengan sebutan Bolong
Mangngongngona Tana Kute. Orang tersebut
adalah seorang ratu yang memerintah di
sebuah negeri yang sangat kaya. Ratu tersebut
terkenal sakti dan pemberani. Apabila ada
kapal yang merapat di pelabuhan negeri
tersebut, Wa Becce selalu berkokok seperti
ayam dan apabila ada yang menjawabnya,
maka mereka akan bertarung. Taruhannya pun
tidak tanggung-tanggung. Apabila Wa Becce
kalah, maka ia akan menyerahkan tampu
kekuasaan di negerinya. Tetapi apabila
lawannya kalah, maka ia akan mengambil
seluruh isi kapal. Tampaknya taruhan itu
memang menguntungkan bagi pemilik kapal
karena tidak seimbang nilainya, tetapi tetap
saja tidak ada yang berani melawan Wa Becce.
<p> </p> Atas petunjuk Lamannuke, Lawelle
pun berangkat mengarungi lautan. Agar
pelayarannya itu berjalan lancar, dia bekerja
sebagai awak pada salah satu kapal tujuan
Tana Kute. Tentu saja tidak ada orang yang
tahu maksud Lawelle, karena kalau mereka
tahu, mereka tidak akan mengikutkan Lawelle.
Semua orang, terutama pemilik kapal, sangat
takut pada Wa Becce. Bahkan, tidak ada kapal
yang mau membawa ayam karena takut ayam
tersebut akan menyahut jika Wa Becce
berkokok seperti ayam. <p> </p> Setelah
berlayar cukup lama, akhirnya kapal yang
ditumpangi Lawelle pun tiba di Tana Kute.
Lawelle tidak sabar lagi menunggu adanya
suara kokok ayam dari dermaga. Begitu
mendengar suara kokok ayam, tanpa ragu-
ragu, Lawelle pun menyahut. Tentu saja
tindakan Lawelle itu membuat seisi kapal jadi
terkejut dan sangat ketakutan. Pertarungan
hebat pun terjadi antara Lawelle dan Wa
Becce. Mereka beradu kekuatan dan kesaktian,
hingga akhirnya badik Lawelle mengenai kulit
Wa Becce. Melihat hal itu, Wa Becce tidak
merasa khawatir sedikit pun karena dia
memiliki penawar luka. Namun malang nasib
Wa Becce. Rupanya dia tidak tahu kalau bekas
sayatan badik Lawelle tidak dapat diobati
dengan penawar apapun. Wa Becce gugur
dalam pertarungan itu. Wa Becce yang selama
ini selalu mengambil milik orang lain, akhirnya
harus merelakan kerajaannya untuk dia
serahkan kepada Lawelle. Tampu kekuasaan
pun beralih pada Lawelle. <p> </p> Konon,
menurut si empunya cerita dan keyakinan
masyarakat Wajo, Tana Kute yang dimaksud
adalah Kerajaan Kutai yang berada di
Kalimantan Timur. Lawelle tinggal memerintah
di kerajaan tersebut. Berita tentang
kemenangan Lawelle melawan Wa Becce pun
tersebar hingga ke Wajo. Banyak orang-orang
Wajo yang menyusul dan menetap di negeri
tersebut dan beranak-cucu hingga
sekarang

Komentar