Cinta Yang Bersepakat Dengan Takdirnya

Drama Klasik Bugis


Takdir yang kejam berpesta mengalahkan para pencinta. Tinggal lah sang kakak meratap pedih

Cinta dan tragedi mirip dua sisi mata uang, menyatu sekaligus terpisah sama sekali. Di Eropa kita mengenal Romeo-Juliet karya Shakerspeare atau Nizhami dalam Khais-Layla di padang pasir Arab, dan kisah Roro Mendut-Pranacitra di Jawa. Adat, budaya, agama, atau apapun namanya seringkali menyerupai “baju” yang terlalu sempit bagi cinta. Namun, mereka yang berani berjuang untuk cinta- walau kemudian menjadi abu, terbingkai kisahnya, dituturkan abadi dari generasi ke generasi melintasi ruang dan waktu.

Mengadopsi dari sastra tutur Bugis berjudul Tolo pessena La Fadomai, sutradara sekaligus penulis naskah Andi Mariowawo Mochtar, kemudian mengemas cerita serupa menjadi drama klasik berjudul We Sangiang I Mangkawani yang dipentaskan 22-23 Juni di Gedung Kesenian Jakarta dalam rangka Jakarta Anniversary Festival VII 2009.

Cerita dibuka dengan lambat dalam properti yang minim di panggung. Sebuah alat pintal dan undak-undakan yang sesekali digunakan bak singgasana. Lalu, raja yang mengeluhkan mimpinya, tukang nujum kesurupan menafsirkan mimpi, suasana taman, flashback ke belakang sebentar, loncat lagi ke masa kini, berputar-putar pada sub plot cerita, kemudian baru menukik ke inti cerita.

Sejak umur sebelas tahun, We Sangiang I Mangkawani putri raja Bugis La Tenripada Arung Mangkau Tana Ogi sudah dijodohkan dengan La Paelori, putra Raja Luwu Datu Mappajung. Sayang, karena Mangkawani justru mencintai kawan sepermainannya, La Fadomai, putra Karaeng Tanabatu dari Wawobulu tanpa tahu cerita tentang rencana perjodohan ayahnya. Yang dia tahu kemudian justru penolakan ayahnya terhadap lamaran ayah La Fadomai karena Arung Mangkau’E memilih memegang teguh janjinya pada Raja Luwu.

Di saat yang sama, Raja Luwu, menagih janji perkawinan Mangkawani dengan La Paelori yang dimahkotai adat itu. Ketika itu tiba, Mankawani justru memilih kabur dengan La Fadomai. Tindakan yang menurut Arung Mangkau’E mencemarkan kehormatan dan kesucian adat. “Adikmu telah memilih jalan nya sendiri. Ia melepaskan adat kemuliaan yang dipercayakan rakyat padanya. Hukumlah mereka yang sudah menginjak-injak adat kemuliaannya,” titah Arung Mangkau pada La Tonrawali –anak laki-lakinya sambil menyerahkan pusaka kerajaan. La Tonrawali berada di persimpangan jalan. Menuruti perintah ayahnya untuk menegakkan adat, atau membunuh sahabat yang juga kekasih adiknya? Dan dia memilih yang pertama.

Entah kepedihan macam apa yang harus dihadapi We Sangiang I Mangkawani, hingga dia harus menyaksikan orang-orang terkasihnya saling baku bunuh. Kakak kandungnya, La Tonrawali dan La Fadomai kekasihnya bertukar maut dalam duel berbadik. Pertarungan yang menyesakkan karena ketiganya bahkan saling mengenal dan bersahabat sejak kecil.

Pilihannya kemudian menjadi terbatas; cinta atau harga diri. La Fadomai yang memercayai cinta dan La Tonrawali bertindak atas nama kehormatan keluarga dan adatnya. Sementara nasib berkhianat dengan memilihkan maut sebagai jalan keluar bagi mereka. La Fadomai mati dalam duel itu, sementara We Sangiang I Mangkawani yang kehilangan kekasihnya memilih bunuh diri. Takdir yang kejam berpesta mengalahkan para pencinta. Tinggal lah sang kakak meratap pedih.

Sayang, konflik-konflik batin itu tak muncul dalam pertunjukan selama dua jam di GKJ itu. Pertentangan batin mengalir datar sesuai script, padahal mestinya di sini sutradara bisa mengemas pesan moralnya, semisal tentang pertanyaan mengapa La Tonrawali memilih membunuh sahabatnya dibanding menentang ayahnya, atau mengapa Arung Mangkau lebih memilih mempertahankan adat dibanding putrinya, atau yang lebih tragis mengapa Mangkawani menempuh jalan mengakhiri hidupnya? Pertanyaan itu tak terjawab. Semua sudah dari sananya begitu. Dan penonton hanya disuguhi pertunjukan. Sementara “pesan”nya menguap entah kemana. teguh nugroho/adiyanto

Dari berbagai sumber.

 

Komentar